Jumat, 11 Juni 2010

Sejarah sabun ( sebab sabun berbusa)



Asal dari kebersihan pribadi kembali ke zaman prasejarah. Sejak air menjadi bagian yang penting untuk kehidupan, orang pertama hidup dekat air dan tahu sesuatu apa itu properti kebersihan - sedikitnya bagaimana membilas lumpur ke tangan mereka.

 Pada awal mulanya sabun terbuat dari lemak hewan dan abu kayu . an karena inilah awlanya sabun tidak berbusa.

 Menurut catatan sejarah, pada zaman Romawi Kuno sabun mulai mendapatkan nama, dari Gunung Sapo, dimana binatang dikorbankan. Hujan membersihkan campuran dari lemak hewani mencair, atau lemak dan abu kayu dibawah menjadi lilin di sepanjang Sungai Tiber. Para wanita menemukan bahwa campuran lilin membuat pembersih mereka dengan lebih kurang usaha.

 Ketika peradaban Romawi maju, jadi selalu mandi. Tempat mandi Romawi terkenal pertama, terdapat dengan air dari saluran air, dibangun sekitar tahun 312 SM. Mandi sangatlah mewah, dan mandi menjadi populer. Di abad-ke 2 Masehi, dokter Yunani, Galen menganjurkan sabun untuk pengobatan dan pembersih.

Pembuatan sabun adalah keahlian yang umum di Eropa di abad ke-17. Pembuat sabun serikat pekerja terlindungi perdagangan rahasia mereka ditutup. Minyak nabati dan hewani digunakan dengan arang tanaman, terus dengan pewangi. Secara berangsur-angsur jenis sabun yang lebih banyak lagi menjadi tersedia untuk mencukur dan mencuci rambut, juga mandi dan mencuci.

 Sabun tercipta dari reaksi saponifikasi. Saponifikasi (saponification) adalah reaksi yang terjadi ketika minyak / lemak dicampur dengan larutan alkali. Ada dua produk yang dihasilkan dalam proses ini, yaitu Sabun dan Gliserin. Istilah saponifikasi dalam literatur berarti “soap making”. Akar kata “sapo” dalam bahasa Latin yang artinya soap / sabun. 

Semakin hari perkembangan sabun semakin pesat, dan sabun pun sudah tidak menjadi barang mewah lagi. 

Dan mengapa sekarang sabun berbusa?

Baiklah, pertanyaan tersebut akan segera terjawab.

             Sebab sabun berbusa

Hal ini terjadi sekitar tahun 1879. Pada waktu itu, sabun mandi jika digosokkan ke tubuh tidak menimbulkan busa. Namun, suatu ketika, seorang pekerja di pabrik pembuatan sabun secara tidak  sengaja meninggalkan mesin pembuat sabun bekerja saat sedang istirahat siang.

Konon, karena kecerobohan ini sabun yang tercipta pada saat mesin itu bekerja, menjadi bercampur dengan unsur udara. Tetapi, karena melihat tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan, pabrik itu memutuskan tetap menjual sabun yang tercampur dengan unsur udara itu.

Kemudian, keajaiban terjadi. Sabun yang bercampur udara itu saat beredar di pasaran ternyata membuat sabun menjadi penuh gelembung dan busa saat digosokkan ke tubuh. Dan, tak disangka hal ini sangat disukai oleh konsumen sabun itu. Maka, kemudian banyak orang yang menanyakan sabun busa tersebut. Sebab, saat itu sabun itu memang tak banyak beredar di pasaran karena sebenarnya produk yang ‘salah cetak’. Akhirnya, karena kehebohan terjadi, sabun itu kemudian mulai diproduksi masal. Sabun itu kemudian diberi nama Ivory oleh perusahaan Proctor dan tak lama mulai disukai di seluruh dunia.

Sekali lagi, itulah bukti, bahwa adanya ketidaksengajaan pun, kadang bisa membawa berkah. Karena itu, jangan pernah merasa resah atau gelisah saat timbul masalah. Sebab, bisa jadi, itu justru berujung pada datangnya berkah.

Kamis, 10 Juni 2010

ukuran ginjal, kunci sukses transplantasi

selama ini golongan darah yang sesuai menjadi kualifikasi penting untuk mencegah penolakan ginjal setelah pencangkokan. Namun, studi terbaru menyebutkan, ukuran berat ginjal juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Penerima cangkok yang menerima ginjal dengan ukuran yang lebih kecil dibanding proporsi berat badan mereka lebih berisiko pada terjadinya komplikasi.

Kesimpulan tersebut dihasilkan dalam penelitian terhadap 1.000 pasien transplantasi ginjal. Dalam laporan yang dimuat dalam Journal of the American Society of Nephrology, para ilmuwan mengatakan hasil studi ini bisa menjadi referensi bagi  dokter untuk meningkatkan harapan hidup pasien.

Dalam penelitiannya, para ilmuwan terus mengikuti kesehatan pasien selama lima tahun pascaoperasi. Menggunakan kalkulasi berdasarkan berat badan pendonor dan berat badan penerima ginjal, diketahui bahwa ginjal yang berukuran lebih kecil dibanding bobot tubuh penerima berisiko komplikasi.

Komplikasi tersebut antara lain naiknya tekanan darah, jaringan parut pada ginjal dan 55 persen risiko kegagalan pencangkokan dua tahun pascaoperasi. Mayoritas penerima cangkok dalam penelitian ini mendapat organ dari donor mati.

Profesor Jean Paul Soulillou, ketua peneliti, mengatakan, dari sudut pandang klinikal, hasil studi ini setara dengan proses identifikasi marker (penanda) untuk mengetahui tipe jaringan yang sesuai untuk mengurangi risiko penolakan. Faktor kesesuaian dan kecocokan antara jaringan donor dan penerima adalah masalah penting.

"Informasi ini sangat dibutuhkan bagi ribuan proses pencangkokan untuk meningkatkan angka harapan hidup," katanya.

Dalam 15 tahun terakhir ini, lebih dari 100.000 pencangkokan ginjal dilakukan di Amerika Serikat. Cangkok ginjal merupakan pilihan terbaik bagi mereka dengan gagal ginjal stadium akhir.

Sumber : www.kompas.com